Cute Yellow Pencil
Wednesday 10 April 2013 - 0 comments

Kesempatan Terakhir




                22 Desember adalah hari yang sangat ditunggu-tungu oleh semua ibu dan anak-anaknya. Namun itu tidak berlaku bagiku. Aku sangat membenci hari itu. Karena tepat tanggal 22 Desember seorang kakak yang sangat aku sayangi meninggalkanku selamanya.
                Masih teringat dibekakku saat berita yang menyakitkan itu disampaikan oleh ibuku enam tahun yang lalu. Sedih, marah, kecewa semuanya menjadi satu. Kenapa kakak pergi meninggalkanku secepat ini!!?
                Saat itu aku masih udduk dikelas lima SD. Seperti biasa kalau istirahat aku pasti pulang untuk makan. Ya rumahku dari sekolah memang dekat, tidak ada 50 meter. Bel tanda istirahat pun berbunyi.
                “Nic, aku pulang dulu ya. Biasa mau makan dulu, laper nih.”
                “Nih anak makan muluk tapi enggak gemuk-gemuk ya,” Monic meledekku.
                “Ye itu sih udah dari sananya. Udah ah laper nih, da!”
                Sampai dirumah aku terkejut. Raut wajah semua orang tak seperti biasanya. Ayah dan Ibuku terlihat khawatir.
                “Bu, kenapa kalian semua terlihat khawatir? Apa yang telah terjadi?” tanyaku penasaran.
                “dek, kaka kecelakaan di Solo” mata ibu mulai berlinang.
                “Benarkah?” aku masih tak percaya.
                Ibu hanya diam saja, ia tak menjawab pertanyaaanku. Detik itu juga perasaanku jadi tak karutan. Gelisah dan khawatir memikirkan kondisi kakakku.
                Aku kembali ke sekolah dengan muka murung. Tak seperti biasanya. Aku dikenal sebagai orang yang ceria dan bersemangat.
                “kamu kenpaa? Tak seperti biasanya kamu murung kayak gini.” Monic mengkhawatirkanku.
                “Tadi sewaktu aku pulang Ibu memberitahuku bahwa kakak kecelakaan di Solo, dan sekarang aku belum tahu kondisinya.”
                “Hah kecelakaan? Kok bisa sih?”
                “Aku juga belum tahu.”
                Bel masuk pun berbunyi. Selama kegiatan belajar mengajar berlangsung aku hanya diam dan melamun. Aku tidak fokus di pelajaran, pikiranku sibuk bertanya-tanya tentang kondisi kakak. Teman-teman sudah berusaha menghiburku dengan candaa-candaan mereka yang menurutku tidak lucu.
                Akhiran jam pulang sekolah pun tiba. Aku buru-buru membereskan buku pelajaranku dan langsung pulang.
                “Aku duluan ya teman-teman.”
                “Oke, semoga kakmu baik-baik saja ya!” jawab Fifi
                “Iya, hati-hati ya,” tambah Nisa
                Aku langsung bergegas pulang ke rumah. Aku tak sabar mendengar kabar tentang kondisi kakak.
                Waktu menunjukkan pukul 12 siang. Sudah ada banyak orang dirumahku. Sebuah tenda berdiri tegak di depan durmah. Dalam hati aku bertanya-tanya, “mengapa mereka smeua memakai baju hitam?”
                Ibu menghampiriku dengan berderai air mata.
                “Nak kakamu sudah tiada.:
                Air mata mulai mendesak keluar dari sudut mataku. Aku hanya terpaku di tempatku berdiri. Takku sangka kakak begitu cepat meninggalkanku. Aku mau ikut dengan kakak, agar aku selalu dekat dengan kakak.
                Sore harinya jenazah kakak dimakamkan. Sampai peti jenazah kakak ditutup aku tidak sempat melihat kakak untuk terakhir kalinya. Aku tak sempat mengucapkan selamat tinggal untuk kakak.
                Saat kami mulai berjalan untuk memakamnkan kakak, hujanpun turun dengan deras. Langit menjadi gelap gulita. Alam seolah mengerti dan menangis bersamaku. Lantunan-lantuanan doa terus berkumandang mengiringi kakak menuju tempat peristirahatan terakhirnya.
                Setelah kuburan kakak selesai ditimbun dan nisan akan ditancapkan, aku melihat sosok kakak yang sedang tersenyum padaku. Dia seperti ingin berkata kepadaku supaya aku tidak bersedih lagi. Nampaknya kakak tahu kalau aku belum bisa mengikhlaskan kepergiannya.
                Prosesi pemakaman telah selesai. Kini makam kakak sudah tertata rapi dengan taburan bunga mawar diatasnya. Aku kembali ke rumah masih dengan kesedihan ynag amat dalam. Aku hanya bisa menangis dan menyesal kepergian kakak.
                Malam pun tiba, aku bersiap untuk pergi tidur. Mataku sembab karena seharian aku mena ngis. Aku terlalu kelelahan . tak terasa mataku mulai terpejam, aku mulai terlelap dalam tidur.
                “Aku ada dimana? Kenapa tidak ada orang disini?” tanyaku penasaran.
                Tiba-tiba kakak datang menghampiriku. Aku langsung memeluk kakak.
                “Kak jangan tinggalkan aku lagi. Aku sayang sama kakak!” pintaku pada kakak.
                “maaf dek kakak harus pergi, kakak sudah bahagia di sini. Adek jangan seding dong, nanti kakak jadi ikutan sedih. Kalau adek sayang sama kakak adek harus mengikhlaskan kakak pergi. Ucap kakak padaku sambil tersenyum.
                Aku terbangun dari tidurku.
                “Ternyata Cuma mimpi. Kak kalau memanbg itu yang kakak inginkan aku akan turuti. Aku akan mencoba mengikhlaskan kepergian kakak.” Air mata kembali tumpah di pipiku.
                Sejak saat itu aku mulai bisa menerima kepergian kakak. Terima kasih kak atas kasih sayang yang selalu kakak berikan. Kakak selalu melindungiku saat aku dalam bahaya. Maafkan aku kak, karena aku tak smepat membuat kakak bahaagia semasa hidup kakak. Aku tak sempat mengucapkan terima kasih atas semua perhatian yang kakak berikan.
                Namun semua itu sudah menjadi kehentak Tuhan. Aku tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Selmat tinggal kak. Semua kenangan indah bersamamu akan selalu ku kenang. Semoga kau tenang di Surga-Nya.

(Karya : Nia Verdiana)

0 comments :

Post a Comment

Musik