22
Desember adalah hari yang sangat ditunggu-tungu oleh semua ibu dan
anak-anaknya. Namun itu tidak berlaku bagiku. Aku sangat membenci hari itu.
Karena tepat tanggal 22 Desember seorang kakak yang sangat aku sayangi
meninggalkanku selamanya.
Masih
teringat dibekakku saat berita yang menyakitkan itu disampaikan oleh ibuku enam
tahun yang lalu. Sedih, marah, kecewa semuanya menjadi satu. Kenapa kakak pergi
meninggalkanku secepat ini!!?
Saat
itu aku masih udduk dikelas lima SD. Seperti biasa kalau istirahat aku pasti
pulang untuk makan. Ya rumahku dari sekolah memang dekat, tidak ada 50 meter.
Bel tanda istirahat pun berbunyi.
“Nic,
aku pulang dulu ya. Biasa mau makan dulu, laper nih.”
“Nih
anak makan muluk tapi enggak gemuk-gemuk ya,” Monic meledekku.
“Ye itu
sih udah dari sananya. Udah ah laper nih, da!”
Sampai
dirumah aku terkejut. Raut wajah semua orang tak seperti biasanya. Ayah dan
Ibuku terlihat khawatir.
“Bu,
kenapa kalian semua terlihat khawatir? Apa yang telah terjadi?” tanyaku
penasaran.
“dek,
kaka kecelakaan di Solo” mata ibu mulai berlinang.
“Benarkah?”
aku masih tak percaya.
Ibu
hanya diam saja, ia tak menjawab pertanyaaanku. Detik itu juga perasaanku jadi
tak karutan. Gelisah dan khawatir memikirkan kondisi kakakku.
Aku
kembali ke sekolah dengan muka murung. Tak seperti biasanya. Aku dikenal
sebagai orang yang ceria dan bersemangat.
“kamu
kenpaa? Tak seperti biasanya kamu murung kayak gini.” Monic mengkhawatirkanku.
“Tadi
sewaktu aku pulang Ibu memberitahuku bahwa kakak kecelakaan di Solo, dan
sekarang aku belum tahu kondisinya.”
“Hah
kecelakaan? Kok bisa sih?”
“Aku
juga belum tahu.”
Bel
masuk pun berbunyi. Selama kegiatan belajar mengajar berlangsung aku hanya diam
dan melamun. Aku tidak fokus di pelajaran, pikiranku sibuk bertanya-tanya
tentang kondisi kakak. Teman-teman sudah berusaha menghiburku dengan
candaa-candaan mereka yang menurutku tidak lucu.
Akhiran
jam pulang sekolah pun tiba. Aku buru-buru membereskan buku pelajaranku dan
langsung pulang.
“Aku duluan
ya teman-teman.”
“Oke,
semoga kakmu baik-baik saja ya!” jawab Fifi
“Iya,
hati-hati ya,” tambah Nisa
Aku
langsung bergegas pulang ke rumah. Aku tak sabar mendengar kabar tentang
kondisi kakak.
Waktu
menunjukkan pukul 12 siang. Sudah ada banyak orang dirumahku. Sebuah tenda
berdiri tegak di depan durmah. Dalam hati aku bertanya-tanya, “mengapa mereka
smeua memakai baju hitam?”
Ibu
menghampiriku dengan berderai air mata.
“Nak
kakamu sudah tiada.:
Air
mata mulai mendesak keluar dari sudut mataku. Aku hanya terpaku di tempatku
berdiri. Takku sangka kakak begitu cepat meninggalkanku. Aku mau ikut dengan
kakak, agar aku selalu dekat dengan kakak.
Sore
harinya jenazah kakak dimakamkan. Sampai peti jenazah kakak ditutup aku tidak
sempat melihat kakak untuk terakhir kalinya. Aku tak sempat mengucapkan selamat
tinggal untuk kakak.
Saat
kami mulai berjalan untuk memakamnkan kakak, hujanpun turun dengan deras.
Langit menjadi gelap gulita. Alam seolah mengerti dan menangis bersamaku.
Lantunan-lantuanan doa terus berkumandang mengiringi kakak menuju tempat
peristirahatan terakhirnya.
Setelah
kuburan kakak selesai ditimbun dan nisan akan ditancapkan, aku melihat sosok
kakak yang sedang tersenyum padaku. Dia seperti ingin berkata kepadaku supaya
aku tidak bersedih lagi. Nampaknya kakak tahu kalau aku belum bisa
mengikhlaskan kepergiannya.
Prosesi
pemakaman telah selesai. Kini makam kakak sudah tertata rapi dengan taburan
bunga mawar diatasnya. Aku kembali ke rumah masih dengan kesedihan ynag amat
dalam. Aku hanya bisa menangis dan menyesal kepergian kakak.
Malam
pun tiba, aku bersiap untuk pergi tidur. Mataku sembab karena seharian aku mena
ngis. Aku terlalu kelelahan . tak terasa mataku mulai terpejam, aku mulai
terlelap dalam tidur.
“Aku
ada dimana? Kenapa tidak ada orang disini?” tanyaku penasaran.
Tiba-tiba
kakak datang menghampiriku. Aku langsung memeluk kakak.
“Kak
jangan tinggalkan aku lagi. Aku sayang sama kakak!” pintaku pada kakak.
“maaf
dek kakak harus pergi, kakak sudah bahagia di sini. Adek jangan seding dong,
nanti kakak jadi ikutan sedih. Kalau adek sayang sama kakak adek harus
mengikhlaskan kakak pergi. Ucap kakak padaku sambil tersenyum.
Aku
terbangun dari tidurku.
“Ternyata
Cuma mimpi. Kak kalau memanbg itu yang kakak inginkan aku akan turuti. Aku akan
mencoba mengikhlaskan kepergian kakak.” Air mata kembali tumpah di pipiku.
Sejak
saat itu aku mulai bisa menerima kepergian kakak. Terima kasih kak atas kasih
sayang yang selalu kakak berikan. Kakak selalu melindungiku saat aku dalam
bahaya. Maafkan aku kak, karena aku tak smepat membuat kakak bahaagia semasa
hidup kakak. Aku tak sempat mengucapkan terima kasih atas semua perhatian yang
kakak berikan.
Namun
semua itu sudah menjadi kehentak Tuhan. Aku tak bisa berbuat apa-apa untuk
mencegahnya. Selmat tinggal kak. Semua kenangan indah bersamamu akan selalu ku
kenang. Semoga kau tenang di Surga-Nya.
(Karya : Nia Verdiana)
0 comments :
Post a Comment